Minggu, 24 September 2017

Bingkisan Kalbu untuk Ayah (lanjutan)

28 Januari 2017,…
Mengangislah engkau adikku jauh di belakang ayah tapi jangan sesekali engkau menangis di hadapnya. Itulah penggalan kalimat yang disimpan bersama semangatku menitih karir.

Ayah, betapa ingin aku untuk menyedu secangkir teh buatan ibu bersamamu. Sayang, cangkir itu kini sudah kosong dan berdebu. Kini putera kecil kebanggaanmu telah dewasa. Ia bekerja sebagai pelayan negara. Restui setiap langkahnya, cukup engkau doakan aku dalam hatimu tanpa ragu.

Ayah untuk sekedar engkau ketahui. Awalnya aku pun berat melakoni pekerjaan ini. Aku menjalaninya dengan mengadaptasi caramu dulu saat bekerja. Mulai dari pakaianmu yang selalu rapi namun tetap sederhana, kehadiranmu yang selalu tepat waktu dan juga sifatmu yang tak pernah ambil pusing terhadap mereka yang mencelamu. Semua itu aku lakukan hasil menyontek kebiasaanmu.

Ayah mengapa engkau berbohong kepadaku. Setiap pulang dari kantor, engkau selalu tersenyum dan tidak pernah terlihat gelisah. Mengapa engkau selalu ingin terlihat bahagia di hadapan kami semua. Seolah-olah engkau tak punya masalah ataupun beban. Dulu mungkin saja engkau berbohong kepadaku. Engkau bilang pekerjaanmu mulus-mulus saja tanpa punya masalah dengan orang lain. Tak mungkin ayah, sekian banyak karakter manusia yang engkau pimpin, mana mungkin engkau tak punya masalah. Kini di kantorku hanya ada 14 karakter manusia lainnya, tapi itu saja aku terkadang sulit menahan rasa amarah, kecewa, lelah bahkan menyesal.

Ayah, usiamu akan masuk 65 tahun. Sejak 2012 ayah berjuang melawan penyakit. Disaat seperti ini, kita masih harus terpisah oleh jarak. Saat pulang nanti, bolehkah ananda menempelkan keningku dibibirmu? Ananda rindu untuk engkau manja seperti dulu. Saat kita bertemu nanti, ayah tidak usah lagi berjalan menyambut kehadiranku untuk pulang. Cukup aku disambut dengan senyum terbaik yang selama ini engkau berikan untuk kami.

Melakoni pekerjaan sebagai seorang pelayan tidaklah mudah dan tidak juga sulit. Semua itu bergantung pada komitmen dan tanggung jawab yang dimiliki. Mungkin ini jawaban atas senyummu dulu. Engkau bilang tidak punya musuh di kantor bahkan semua orang sayang kepadamu. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Engkau hanya bilang bahwa ketika kita punya musuh artinya jangan kita jauhi akan tetapi dekati karena ia belum mengenalmu saja. Saat ini aku mulai belajar untuk mengenal mereka ayah. Persahabatan pun harus kami mulai. Mungkin ini adalah keluarga baruku. Untuk itu restui ananda sekali lagi melakoni peran sebagai abdi negara.

Baiklah, sejenak aku tinggalkan kisahku di kantor. Sekarang aku akan bercerita tentang keresahanku kepadamu. Ayah, di usiamu yang senja ini engkau masih sangat ceria. Kapan engkau menangis, kami pun tidak tahu. Apakah diam-diam engkau menghapus tetesan air mata tanpa kami ketahui? Sekali lagi kami terkecoh kalau begitu. Engkau selalu curang dan tidak mau berbagi masalahmu dengan kami.

Cerita keresahan ini dimulai saat aku selesai sidang akhir. Ayah masih ingat dengan janjimu akan datang ke wisudaku pada saat itu? Tapi ayah berbohong, ayah tidak hadir menggunakan baju terbaik yang ayah miliki. Ayah lebih memilih tinggal di rumah dan membiarkan ibu pergi sendiri ke Bandung. Ayah jangan marah, aku hanya bercanda. Ayah selalu luar biasa bagiku. Bukan keinginanmu untuk tidak hadir. Aku yakin dalam tarikan nafasmu sekalipun pasti engkau selalu mendoakan yang terbaik buat putera kebanggaanmu ini.

Keresahan pertamaku adalah wisuda tanpa kehadiranmu. Bagaimana mungkin kebahagianku terasa sempurna tanpa kedua malaikatku berada disini. Suatu hari nanti kita akan berpisah, entah aku, ayah atau ibu yang duluan menghadap kepadaNya. Jika hari itu tiba semoga kelak kita akan dipertemukan kembali di surgaNya amin


Rabu, 25 Mei 2016

Bingkisan Kalbu untuk ayah (3)

Ayah…
Kini putera kecil kebanggaanmu ini telah dewasa. Kini aku tepati beberapa janji untukkmu. Kini aku menjadi pelayan publik ayah. Seperti keinginanmu, kelak aku harus membantu orang lain. Semoga dengan pilihan dan kesempatan ini, aku bisa memenuhi permintaanmu.
Ayah…
Kini usiamu akan masuk 64 tahun. Sejak 2012 ayah berjuang melawan penyakit . Terkadang kami harus menahan rasa sedih di depan ayah karena kami malu untuk menagis. Ayah terimalah penghasilan pertamaku. Ini hanya sebagian kecil yang tak dapat kubalas dari jasamu.
Ayah…
Aku tau ayah lelah, ayah capek bahkan ayah ingin keluar rumah untuk hanya sekedar jalan-jalan. Ayah maafkan aku, ini adalah pilihan. Aku memilih pekerjaan yang jauh dari rumah. Aku tidak bisa selalu mendampingi ibu untuk merawat ayah. Ibu maafkan aku yang tidak menemanimu selalu menjaga ayah. Ibu jangan lelah, ibu harus kuat dan jangan pernah mengeluh bahkan kesal dengan semua cobaan ini. Ibu harus selalu bersyukur bisa diberi kesempatan merawat ayah. Percayalah Tuhan pasti punya rencana hebat buat keluarga kecil kita.
Ayah…

Terkadang ayah lupa nama kami, terkadang ayah melakukan hal aneh yang diluar prediksi kami. Tapi ayah, kami akan tetap setia menjaga ayah. Kami ikhlas ayah, dalam doa, kami selalu berharap atas kesembuhan ayah. Terimakasih Tuhan, Engkau permudah untukku memperoleh pekerjaan, dan Engkau dekatkan aku dengan perkerjaan mulia yang di dambakan ayah. Semoga aku bisa amanah menjalankan tugas ini, sekali lagi terimakasih ya Allah atas nikmat dan karuniamu.

Senin, 11 Mei 2015

Puisi untuk Ayah

AYAH

Susah sudah kau menyekolahkan ku
Kini aku bukan hanya mengenal huruf saja
Kini aku mulai mengenal makna namamu,ayah
Dulu ku hanya tau sekedar nama darimu
Dulu ku hanya tau meminta segelas air susu dari kerjamu
Kini aku meminta kau mengerti aku

Ayah,
Aku tahu kau selalu ada untukku ku
Kini ku jauh darimu,,..
Namun suara hatiku selalu dekat untukmu
Tetes demi tetes air mata
Menghantarkan tidur lelapku malam ini

Ayah, maukah kau berjanji untukku
Ayah maukah kau mengingat aku
Kini, kutulis puisi kalbu untukmu
Ini pusi anakmu yang tulus dan lugu

Ayah,, setiap kata kumulai dengan memanggil namamu,,..
Kini kutahu usiamu mulai menjauhi aku
Tapi kerutan diwajahmu kuingin selalu bisa ditawar oleh rasa bahagia dariku


Kini
Aku menitih sebuah perjuangan hidup
Kuingin melihatmu bahagia disana
Bersama bintang-bintang disurga

Walau kini aku hidup dalam kekangan
Walau ku harus mengejar nyawa yang mulai dipertaruhkan
Namun, aku kan selalu menjaga kebahagiaan buatmu,,..
Buat keluarga bahagiaku…..

Bingkisan Kalbu untuk Ayah (2)



Semester V (Lima)...
Saat itu aku memulai untuk kisah perjalanan hidupku kembali. Tak terasa aku telah menginjak semester baru. Belum menjadi mahasiswa tingkat akhir tetapi tidak juga dapat dikatakan sebagai mahasiswa baru. Hari-hari ku jalani sisa kisahku di Kota Bandung. Masih seperti diriku yang dulu. Aku berharap di semester ini bisa memberikan kado lain untuk ayah. Di awal perjalanan semester ini, salah seorang teman sekelas mengajak aku untuk mengikuti salah satu kompetisi debat yang diadakan oleh salah satu stasiun tv nasional.
Awalnya kami ragu dan tak yakin. Total peserta untuk seleksi kota Bandung saja saat itu mencapai hingga enam puluh lebih peserta. Keraguan itu selalu muncul dalam benak kami. Tak banyak harapan yang kami inginkan. Hanya untuk sekedar mencari pengalaman saja dan memperbanyak relasi. Tapi Tuhan bantu kami, pada akhirnya kami diberi kesempatan untuk masuk ke babak final kompetisi ini. Memang kami bukan sang jawaranya, tapi syukurlah kami mendapatkan kesempatan diluar ekspektasi kami sebelumnya.
Tak ada yang perlu kami sesali dan tak ada kata putus asa untuk memulai peruntungan yang lainnya. Semua sudah direncanakan Tuhan, kita hanya berusaha dan menjalankannya saja. Di bulan berikutnya yaitu Oktober 2013, aku bersama tim ku memulai sebuah kompetisi baru. Kali ini adalah kompetisi Legislative Drafting atau kita kenal dengan sebutan Penyusunan dan Perancangan Undang-Undang. Sebulan lebih kami mempersiapkan kompetisi ini bersama empat rekanku yang lainnya dan dibantu oleh senior dan teman-teman lainnya.
Hari kompetisi pun dimulai...
Kali ini kompetisi yang aku ikuti diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Bismillah, semoga langkah kami dipermudahkan oleh Tuhan. Bersama empat finalis dari universitas-universitas terkemuka di Indonesia, kami memperebutkan untuk menjadi pemenang dalam kompetisi ini. Namun pada akhir kesempatan, Juri memberikan kepercayaan kepada timku untuk menjadi juara 2. Alhamdulillah, setidaknya perjuangan lelah yang kami berikan tak sia-sia. Aku pun menjadi salah satu orang yang bahagia saat itu, tanpa berfikir panjang, aku pun segera menelepon ibu untuk memberikan kabar bahagia ini. Bukan hanya suara ibu yang aku dengar, tapi ayah juga mengucapkan turut bangga dan bahagianya dengan apa yang telah kami capai. Sungguh kebahagian yang luar biasa pada saat itu, untuk waktu yang cukup lama akhirnya aku bisa kembali merasakan kecerian ayah. Terbayang wajah dan senyum ayah sambil mengelus kepalaku seperti sedia kala.
Kali ini aku bahagia karena telah memberikan kado ketiga untuk ayah. Banyak harapan yang ingin aku wujudkan demi ayah. Saat libur semester V tiba, ingin rasanya segera kembali ke Riau dan berbagi cerita kepada ayah dan ibu. Kini motivasi terbesarku adalah membahagiakan mereka. Aku bangga pada sosok ayahku. Selama hidupnya, Ia tak pernah sekalipun aku lihat menunjukkan rasa kesal kepada setiap tingkah laku ku yang manja ini. Ia selalu berusaha menjadi ayah yang baik. Ayah tak pernah marah baik kepada kami anak-anaknya maupun kepada Ibu. Kini di sisa umurnya, giliran kami yang harus membahagiakan ayah.
Dulu aku tak menjadi sosok yang mandiri. Hampir setiap hari aku mengeluh dan memanggil nama ayah, ayah dan ayah untuk menyelesaikan tugasku. Tapi kini tak mungkin aku lakukan hal itu. Sudah cukup ayah berkorban jauh untuk kami. Untuk saat itu kebahagian kami adalah melihat ayah benar-benar pulih dan kembali seperti dahulu. Harapan itu pasti ada, selama kami selalu menjaga semangat untuk ayah.

Semester VI (enam) pun dimulai...
Perjalanan masih panjang untuk segera aku lalui. Dalam genggamku di semester ini, tak terlalu banyak pengharapan yang ingin ku capai. Di semester ini, aku dituntut lebih banyak aktif dan bertanggung jawab untuk menjadi ketua pelaksana dalam sebuah kepanitian di kampus. Bukan menjadi beban tersendiri bagiku, namun ini akan menjadi pengalaman baru yang belum dapat aku prediksi akan seperti apa kedepannya.
Mungkin sebagian mereka tak beranggapan bahwa laki-laki yang dikenal manja seperti aku akan mampu menghadapi tantangan yang besar. Tapi menurutku mereka yang beranggapan seperti itu terlalu dangkal dalam memahami sisi lainku. Bagiku, amanah tersebut merupakan tanggung jawab yang harus aku selesaikan hingga akhir. Awalnya tak mudah untukku membagi waktu antara kepanitian dan perkuliahan. Tetapi, keduanya harus dilakukan secara bersama dan seimbang.
Tak ada yang khusus di semester ini. Dalam perjalanan waktuku di semester ini, tentunya banyak hal-hal yang harus aku pikirkan. Ini merupakan semester penghujung di perkuliahan. Sudah saatnya aku harus memikirkan tugas akhir. Prinsipku hanyalah satu, segera mewujudkan cita-cita ayah untuk melihat anaknya di wisuda.
Kini perasaanku mulai lega. Ayah sudah bisa dikatakan lebih baik sekarang. Penyakitnya berangsur pulih. Hatiku pun berasa lega karena nantinya disaat hari yang ayah cita-citakan, aku dapat mempersembahkan gelar ini untuk mereka. Sudah terbayang sebuah keceriaan di hari bahagia itu. Kini untuk mewujudkannya, aku semakin giat untuk mempersiapkan judul tugas akhir. Tentunya tak gampang untuk memilih penelitian seperti apa yang ingin aku ambil.
Tak ada masalah dan tak ada kendala yang cukup berarti. Rutinitas di kampus aku lalui tanpa terasa. Kini di ujung perjalanan semester VI, aku harus mengubur keinginanku untuk melaksanakan puasa pertama di rumah. Kini giliranku untuk mengikuti Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) Universitas Padjadjaran.
Bersama 19 rekan lainnya, kami memulai kisah di desa kecil bernama Jayamukti, Tasikmalaya. Mungkin nama desa ini tidak asing bagi sebagian orang, namun daerah ini sangat asing bagiku. Tak ada yang salah dengan desa ini. Hari-hari selama satu bulan penuh kami habiskan disini. Banyak cerita dan pengalaman yang kami dapat dari desa ini. Masyarakat yang beradat, sopan santun dan anak-anak yang ramah menghiasi rumah kecil tempat persinggahan kami.
Mereka memanglah Cuma masyarakat desa. Tak kenal teknologi yang canggih, tak perlu berjalan-jalan menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan elit ataupun hanya sekedar duduk-duduk cantik di suatu tempat makan. Tetapi, banyak cerita yang tersampaikan kepada kami. Desa ini begitu ramah. Anak-anaknya masih bisa tersenyum walau hanya bermain dengan jenis permainan tradisional seperti “lodong”. Permainan ini terbuat dari botol panjang yang menghasilkan bunyi dentuman cukup kuat. Mereka dengan bangganya mengajariku bermain ini.
Hari-hari kami lalui di desa ini. Tak mungkin kami harus bertahan lebih lama lagi disini. Tentunya kami harus segera kembali ke Bandung. Aku juga tak sabar ingin kembali ke kampung halaman di Riau. Wajah keluarga sudah semakin jelas terbayang dibenakku.
Lebaran tahun ini aku kembali tidak menaruh harapan banyak. Aku tidak terlalu berharap lebaran ke kampung ayah atau ibu, atau hanya sekedar liburan ke kota-kota ternama baik dalam maupun luar negeri. Cukup pulang ke rumah dan menjaga ayah saja bagiku sudah cukup. Lega ketika berada di rumah dan berkumpul dengan sanak keluarga. Mungkin ketika liburan usai, aku hanya bercerita kepada kawanku jikalau aku hanya libur lebaran di rumah saja. Gak perlu merasa malu ataupun gengsi. Yang terpenting bagiku bukan pujian orang lain terhadap perjalanan liburanku, setidaknya di rumah aku akan mengisahkan kembali perjalananku di semester VI ini khususnya kepada ayah.

Semester VII akhirnya tiba….
Kini perjalananku sudah dipenghujung. Tak terasa sudah lebih dari tiga tahun aku menghabiskan waktu di kota kembang. Banyak kisah dan kenangan yang telah aku toreh. Dan tak mudah bagiku untuk mengakhiri kisah itu. Aku tahu, ini adalah penghujung semester kami. Sudah tak seharusnya aku mengikuti sebuah kompetisi. Sudah seharusnya aku fokus pada tugas akhir. Namun layaknya manusia seperti biasa, tentunya tak ada kata tak puas. Bersama dua rekan lainnya kami pun mencoba berkompetisi di kota hujan. Insititut Pertanian Bogor menjadi saksi dan sekaligus akhir dari perjalanan kompetisiku.
Sekali lagi ayah, kan ku buktikan padamu bahwa ini bentuk komitmenku. Piala juara 2 dalam kompetisi ini sekali lagi aku persembahkan kepadamu. Janjiku adalah setibanya kembali di Bandung, aku akan fokus untuk mengerjakan tugas akhir. Aku tak ingin terlalu lama menghabiskan sisa waktuku untuk kuliah. Berat rasanya jika terus-menerus menghabiskan uang ayah untuk pendidikanku.
Semester ini menjadi puncak dalam menyelesaikan tugas akhir. Dari awal September hingga akhir November, secara tekun dan sungguh-sungguh, aku mencoba membagi waktu antara kuliah dan tugas akhir. Alhamdulillah, sebuah kebahagian yang kembali ingin aku persembahkan kepada ayah. Tepat di tanggal 28 Oktober, untuk pertama kalinnya aku melaksanakan sidang usulan penelitian. Semuanya berjalan lancer tanpa adanya kendala yang berarti.
Pada tahap selanjutnya, aku pun ingin mempunyai target cepat dalam menyelesaikan tugas akhir dan segera menyandang gelar sarjana hukum. Namun tidak semudah yang aku bayangkan. Kembali aku dihadapkan kepada sebuah kabar duka. Tepat di hari aku memberikan revisi tugas akhir kepada dosen pembimbing, ibu meneleponku.
Dalam pembicaraan kami, jelas bahwa ibu memintaku untuk segera kembali ke Riau. Memang aneh dan tak tahu harus berbuat apa. Beban hidupku semakin berat. Mungkin tak salah jika aku harus mengeluarkan air mata. Hatiku begitu tak karuan. Sedih teramat sedih. Semua harapan terasa begitu buyar, seolah-olah perjalananku sudah berakhir dan tak bisa dimulai kembali.
Kini ayah kembali harus berjuang melawan mautnya. Tepat pukul 23.00 WIB, aku pun tiba di Riau. Kali ini aku tidak pulang ke rumah. Melainkan aku harus tegar dan menuju rumah sakit. Setibanya di depan ruang operasi, aku tak melihat ayah melainkan ibu dan kerabatku yang tertunduk lesu menunggu hasil operasi ayah. Sedih, begitu aku setibanya di rumah sakit, ternyata aku belum sempat memegang tangan ayah dan memberikannya semangat. Anak mana yang hatinya tak akan sedih. Di tengah penyakit stroke yang menyerang ayah, kini ayah harus dihadapkan dengan penyakit lain. Lambungnya bocor dan memaksakan ayah untuk segera di operasi.
Dokter berpesan kepada ibu untuk tidak terlalu berharap banyak akan hasil operasi. Alhamdullillah aku tegar melihat ibu yang ikhlas dengan apapun yang terjadi. Dalam benak, aku mempertanyakan apakah ayah nanti akan sembuh? Apakah ayah akan menepati janjinya untuk hadir dalam prosesi wisudaku?. Biarlah aku simpan pertanyaan itu di hati ini. Dan biarlah untuk beberapa saat aku menunda mengerjakan tugas akhir ini.
Saat ini yang terpenting adalah kesembuhan ayah. Jujur, aku belum siap untuk kehilangan ayah. Dua jam lebih ayah di operasi dan akhirnya dinyatakan berhasil oleh dokter. Kini, ayah tak sadarkan diri pasca operasi dan dipindahkan ke ruang ICU. Setidaknya aku lega, karena ayah telah melewati satu tahap. Kurang lebih 8 hari ayah berada di ruang ICU. Banyak hal yang telah aku lewati termasuk pelaksanaan UAS. Niatku hanya satu, aku tulus hadir dan menjaga ayah dan aku yakin Allah akan bantu aku untuk bisa mengikuti UAS susulan.
Selama berada di ruang ICU, banyak pengalaman yang khususnya aku dan ibu lewati. Hati kami selalu dirundungi rasa khawatir. Banyak pasien yang berada di ruang ICU harus mengakhiri hidupnya. Tuhan, betapa aku dan ibu cemas jika kondisi itu terjadi pada ayah. Dalam doa, kami berharap ayah segera di pindahkan keruangan perawatan dan sembuh.
Mungkin ini rencana Tuhan yang harus kami lewati bersama. Dalam keadaan ini, bathin kami semakin diperkuat. Hubungan anak dan ibu terjalin begitu erat. Kami saling menguatkan dan aku pun harus bersikap lebih dewasa. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, kini tanggung jawab besar berada di pundakku. Kami ikhlas dengan semua hasilnya. Alhamdulillah doa kami didengar. Kini ayah di pindahkan keruangan biasa. Sedikit lebih lega, aku meninggalkan ibu untuk kembali ke Bandung. Kurang lebih seminggu lamanya aku berada di Bandung untuk mengurus beberapa tugasku yang tertunda. Sekembalinya ke Riau, aku dan ibu kembali membagi tugas secara bergantian untuk menjaga ayah. Aku ikhlas ayah untuk mengangkat badan ayah hingga aya bisa duduk di kursi. Aku ikhlas keringatku bercucuran untuk mengangkat ayah kembali tidur di Kasur. Ingatku, dulu sewaktu kecil, ayah mengangkatku dengan kedua tangan ayah yang kokoh ketika aku tertidur di depan TV menuju kamar dan sudah saatnya aku membalas bentuk perhatian itu padamu ayah.
Tepat pada tanggal 10 Januari 2015 aku harus kembali ke Bandung. Kini perjalanan kisahku di kampus akan segera berakhir. Aku di undang untuk mengikut sidang akhir. Tepat pada tanggal 28 Januari yang juga merupakan hari kelahiranku, aku mengikut sidang akhir. Harapanku di hari bersejarah ini, di hari kelahiranku ini, semoga aku dilancarkan hingga akhir dalam memperoleh gelar sarjana hukum. Sekali lagi, aku persembahkan sarjanaku hanya untukmu ayah. Sejak semester III hingga semester VII, ayah nyata berjuang untuk menepati janji hadir di hari wisudaku. Kini, 3,5 tahun perjuang kita tercapai. Pintaku hanya satu saat itu, beri ayah kesembuhan dan ayah hadir bersama ibu di hari wisudaku nanti.
Jujur, awalnya aku tak punya harapan banyak. Aku tak terlalu mengambil pusing akan wisuda. Targetkku adalah wisuda di bulan November. Tetapi demi ayah, semua aku lakukan. Aku tak mau, ibu dan ayah terlalu pusing untuk membayar biaya pendidikanku di semester 8 nanti. Sejak desember aku putuskan untuk tidak memiliki kostan. Dengan harapan, biaya itu dapat dimaksimalkan demi kesembuhan ayah. Tidak banyak yang ingin aku harapkan dari ayah. Hanya satu pintaku, di hari prosesi wisuda nanti, aku dapat memberikan kalung sarjanaku kepada ayah.

05 Mei 2015…
Hari yang aku tunggupun tiba. Ingin rasanya merangkul kedua sayapku dengan tangan lemahku ini. Ingin rasanya memeluk mereka secara bergantian. Namun Tuhan punya rencana lain. Aku dan ayah harus berada dalam tempat yang berbeda. Di hari wisuda, aku ditemani ibu saja sementara ayah harus terbaring lemah di Kasur tempat aku dan ibu merawatnya. Walau hanya seorang diri ibu hadir diwisudaku tapi aku tetap bahagia. Sampai kapanpun aku akan menunggu kesembuhan ayah. Semoga aku lekas memperoleh pekerjaan dan dengan penghasilanku sendiri, maka aku mampu melanjutkan pendidikan ke jengjang yang lebih tinggi
Kembali harapanku adalah di hari wisuda nanti saat aku memperoleh gelar master hukum baik ayah maupun ibu dapat hadir di hari wisudaku. Terimakasih ayah udah berjuang hingga hari ini. Semoga aku bisa mempersembahkan pengasilan pertama untuk ayah. Makasih ibu sudah hadir di hari wisudaku walaupun di tengah kesibukan ibu harus menjaga ayah. Terimakasih kepada kedua kakakku yang sudah secara ikhlas membantu biaya pendidikanku dan menggantikan peran ibu selama ibu menghadiri acara wisudaku di Bandung. Sampai detik ini aku selalu bersyukur masih memiliki keluarga yang lengkap. Masih banyk di luar sana dari teman-temanku yang tak seberuntung aku. Sekali lagi terimakasih untuk semua yang sudah memberikan kisah dalam perjalananku dibangku perkuliahan ini. Sampai kapanpun, kisah ini akau selalu tersimpan rapi dalam hati ini dan semoga dapat aku ceritakan kembali di waktu yang berbeda buat keluarga besarku kelak.

Jumat, 04 Oktober 2013

Puisi

 Biadap di Negeriku
Kulit tak bertulang
Nyawa yang teronggok
Kaku tanpa ekspresi
Reruntuhan begitu nyata dan dekat
Hingga jatuh berkeping-keping
 Nyawa yang dulu nyala
Kini tak sanggup berdaya
Harta yang kita punya
Kini habis ditelan dunia

Tuhan begitu bosan
Tanpa ada sesal
Semua rata oleh kebiadaban
Jeritanpun menjadi tautan
Yang bernyala ditengah rentetan
Tuhan mulai menjauh
Sulit dijangkau
Oleh yang lengah
Kini hanya duri-duri yang berkeping
Melonjak datang menghampiri
Mengapa waktu mudah berubah?
Lari tanpa maksud
Mengejar semua yang tak pasti

Sungguh itu biadab

Senin, 01 Juli 2013

Kenangan Masa Kecil

Hidup Layaknya Roda yang Berputar

Di kala aku masih berada di kampung. Aku memiliki seorang teman yang luar biasa. Panggil Ia dengan sebutan Imah. Mungkin sebagian temanku mulai lupa denganya. Tidak tertutup kemungkinan bagiku juga.

Saat pertama kali aku merasakan dunia pendidikan. Di bangku sekolah dasar, hampir setiap hari aku bermain bersama Imah. Ya, dia seorang gadis berkepribadian sahaja. Saat itu Ia masih berkecukupan dan paling pintar di kelas. Setiap pembagian rapor, Ia selalu rangking pertama.

Tapi aku tidak pernah merasa rendah diri untuk bermain bersama Imah. Walaupun ayahku hanya seorang guru, dan hidup kami pas-pasan saja, tetapi mengapa tidak untukku selalu mengajak Imah untuk berdiskusi mengenai pelajaran. Justru, menjadi seorang anak guru membuatku mengerti dan memahami bahwa ilmu itu patut dan berharga untuk dicari.

Hari-hari aku habiskan bermain bersama Imah. Sesekali Imah ke rumah kami. Dulu, aku tinggal di rumah kayu yang mana kalau hujan atapnya bocor, tetapi tetap kami syukuri. Disana, aku bersama Imah serta beberapa teman lainnya sering bersama. Bersama untuk belajar, bersama untuk bermain, dan bersama untuk menjadi sahabat.

Masa itu masa yang indah menurutku. Imah mengajari banyak kepadaku. Menjadi orang kaya kita tidak harus sombong. Mengapa? Kekayaan tidak ada yang bersifat abadi, dan suatu hari kita juga bisa menjadi orang yang berkecukupan. Tidak terasa selama 6 tahun kebersamaan kami.


Imah pun melanjutkan pendidikanya ke salau satu Pesantren ternama di Sumatra Barat. Dan aku melanjutkan pendidikan ke SMP yang berada di samping SD ku dulu. Tak apa-apa, yang penting aku bisa melanjutkan pendidikan.

Bertahun-tahun lamanya aku melupakan kebersamaan bersama Imah. Dan hari itu, di saat aku diterima di salah satu Universitas di kota kembang aku teringat akan Imah. Ingin rasanya mengetahui dimana Imah sekarang melanjutkan pendidikan.

Namu teman, saat aku mengetahui berita tentangnya, sedih rasanya dan aku terharu dengan pengorbananya. Dulu Ia memang berkecukupan, tetapi Tuhan kini mengujinya. Keluarganya dirunut beberapa masalah dan mereka kini berada dalam garis kemiskinan.

Tapi aku belajar banyak dari Imah, walau kini Ia kekurangan tak lantas membuat Imah menjadi lemah. Ya, kebanyakan orang kaya ketika jatuh miskin jadi setres dan tak tahu arah. Namun beda dengan temanku Imah.

Imah memiliki adik yang banyak. Kini bersama Ibunya Imah menata kehidupan mereka. Imah harus merelakan pendidikanya berhenti. Ia menggantikan Ibunya yang sakit-sakitan untuk berdagang. Ia rela untuk tidak melanjutkan pendidikanya. Dengan maksud, Ia harus berusaha keras menyekolahkan adik-adiknya dan bisa menjadi orang berguna. Ia rela mengorbankan masa depanya, kuliahnya, dan kepintarannya untuk keluarga kecilnya.

Kini Imah hanya seorang pedagang yang dapat aku temui di kampungku sana. Tapi justru disini aku menilai Imah merupakan sosok pintar. Mengapa? Walaupun Ia hanya pedagang, namun niat tulus untuk menyekolahkan adik-adiknya merupakan sesuatu yang luar biasa. Ia tak ingin adiknya merasakan penderitaan yang sama denganya. Baginya kehidupan itu adalah roda yang berputar.


Dulu mungkin Ia dikenal dengan sosok sempurna, selain kaya, Ia juga pintar. Melalui cerita hidup Imah aku mencoba menghadapi hidupku sendiri. Siapa yang tahu dengan kita hari esok. Kadang kita di atas dan kadang kita di uji Tuhan berada di bawah.

Doa ku tetapi satu. Dalam kondisi apapun. yang jelas aku harus bisa membahagiakan orangtuaku. Semoga suatu hari nanti aku bisa mewujudkan harapan orangtuaku. Menjadi salah seorang wisudawan dengan IPK terbaik dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai harapan kami. Tetap semangat Imah, kami ada untukkmu. Dan aku yakin kepintaranmu akan selalu berfungsi. Karena ilmu tidak akan pernah habis. Selagi bisa, selalu berikan aura positif bagi siapapun yang mengenalmu.

Kamis, 27 Juni 2013

Sudah jadi MAHASISWA IDEAL belum???

Bagi saya, kategori mahasiswa ideal itu mahasiswa yang dapat men-sinergis-kan setiap aktifitasnya. Alasannya kenapa? Karena butuh proses untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Kalaulah seorang mahasiswa dapat mengatur kegiatannya tanpa harus ada keteteran ataupun kecerobohoan, maksudnya meminimalisir kecerobohon dalam bekerja, maka bagi saya seseorang itu sudah mencoba lebih baik dan dapat meng-singkronisasi-kan tindakan dan ucapannya.

Mahasiswa ideal itu memiliki beberapa point penting ( menurus saya):
I     à ingat akan waktu kapan ia harus bekerja, beristirahat, belajar dan membagi waktunya
àdengan waktunya ia dapat menghasilkan hal-hal positif yang bermanfaat untuk sekelilingnya
E  à empirisioneris, yaitu orang-orang yang mau dan mampu untuk berkeinginan mewujudkan cita-cita positifnya menjadi nyata
A  àapapun rintangan yang dihadapi akan diatasi dengan penuh strategis dan tidak gegabah dalam berkeputusan

L àlayaknya seorang mahasiswa, ia akan berpikir untuk merubah dirinya ke arah yang lebih baik dan bisa menjadi manusia sosial yang diterima baik ditengah-tengah masyarakat