Semester V (Lima)...
Saat itu aku memulai untuk kisah
perjalanan hidupku kembali. Tak terasa aku telah menginjak semester baru. Belum
menjadi mahasiswa tingkat akhir tetapi tidak juga dapat dikatakan sebagai
mahasiswa baru. Hari-hari ku jalani sisa kisahku di Kota Bandung. Masih seperti
diriku yang dulu. Aku berharap di semester ini bisa memberikan kado lain untuk
ayah. Di awal perjalanan semester ini, salah seorang teman sekelas mengajak aku
untuk mengikuti salah satu kompetisi debat yang diadakan oleh salah satu
stasiun tv nasional.
Awalnya kami ragu dan tak yakin.
Total peserta untuk seleksi kota Bandung saja saat itu mencapai hingga enam
puluh lebih peserta. Keraguan itu selalu muncul dalam benak kami. Tak banyak
harapan yang kami inginkan. Hanya untuk sekedar mencari pengalaman saja dan
memperbanyak relasi. Tapi Tuhan bantu kami, pada akhirnya kami diberi
kesempatan untuk masuk ke babak final kompetisi ini. Memang kami bukan sang
jawaranya, tapi syukurlah kami mendapatkan kesempatan diluar ekspektasi kami
sebelumnya.
Tak ada yang perlu kami sesali dan
tak ada kata putus asa untuk memulai peruntungan yang lainnya. Semua sudah
direncanakan Tuhan, kita hanya berusaha dan menjalankannya saja. Di bulan
berikutnya yaitu Oktober 2013, aku bersama tim ku memulai sebuah kompetisi baru.
Kali ini adalah kompetisi Legislative
Drafting atau kita kenal dengan sebutan Penyusunan dan Perancangan
Undang-Undang. Sebulan lebih kami mempersiapkan kompetisi ini bersama empat
rekanku yang lainnya dan dibantu oleh senior dan teman-teman lainnya.
Hari kompetisi pun dimulai...
Kali ini kompetisi yang aku ikuti
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Bismillah,
semoga langkah kami dipermudahkan oleh Tuhan. Bersama empat finalis dari
universitas-universitas terkemuka di Indonesia, kami memperebutkan untuk
menjadi pemenang dalam kompetisi ini. Namun pada akhir kesempatan, Juri
memberikan kepercayaan kepada timku untuk menjadi juara 2. Alhamdulillah,
setidaknya perjuangan lelah yang kami berikan tak sia-sia. Aku pun menjadi salah
satu orang yang bahagia saat itu, tanpa berfikir panjang, aku pun segera
menelepon ibu untuk memberikan kabar bahagia ini. Bukan hanya suara ibu yang
aku dengar, tapi ayah juga mengucapkan turut bangga dan bahagianya dengan apa
yang telah kami capai. Sungguh kebahagian yang luar biasa pada saat itu, untuk
waktu yang cukup lama akhirnya aku bisa kembali merasakan kecerian ayah.
Terbayang wajah dan senyum ayah sambil mengelus kepalaku seperti sedia kala.
Kali ini aku bahagia karena telah
memberikan kado ketiga untuk ayah. Banyak harapan yang ingin aku wujudkan demi
ayah. Saat libur semester V tiba, ingin rasanya segera kembali ke Riau dan
berbagi cerita kepada ayah dan ibu. Kini motivasi terbesarku adalah
membahagiakan mereka. Aku bangga pada sosok ayahku. Selama hidupnya, Ia tak
pernah sekalipun aku lihat menunjukkan rasa kesal kepada setiap tingkah laku ku
yang manja ini. Ia selalu berusaha menjadi ayah yang baik. Ayah tak pernah
marah baik kepada kami anak-anaknya maupun kepada Ibu. Kini di sisa umurnya,
giliran kami yang harus membahagiakan ayah.
Dulu aku tak menjadi sosok yang
mandiri. Hampir setiap hari aku mengeluh dan memanggil nama ayah, ayah dan ayah
untuk menyelesaikan tugasku. Tapi kini tak mungkin aku lakukan hal itu. Sudah
cukup ayah berkorban jauh untuk kami. Untuk saat itu kebahagian kami adalah
melihat ayah benar-benar pulih dan kembali seperti dahulu. Harapan itu pasti
ada, selama kami selalu menjaga semangat untuk ayah.
Semester VI (enam) pun dimulai...
Perjalanan
masih panjang untuk segera aku lalui. Dalam genggamku di semester ini, tak
terlalu banyak pengharapan yang ingin ku capai. Di semester ini, aku dituntut
lebih banyak aktif dan bertanggung jawab untuk menjadi ketua pelaksana dalam
sebuah kepanitian di kampus. Bukan menjadi beban tersendiri bagiku, namun ini
akan menjadi pengalaman baru yang belum dapat aku prediksi akan seperti apa
kedepannya.
Mungkin
sebagian mereka tak beranggapan bahwa laki-laki yang dikenal manja seperti aku
akan mampu menghadapi tantangan yang besar. Tapi menurutku mereka yang
beranggapan seperti itu terlalu dangkal dalam memahami sisi lainku. Bagiku,
amanah tersebut merupakan tanggung jawab yang harus aku selesaikan hingga
akhir. Awalnya tak mudah untukku membagi waktu antara kepanitian dan
perkuliahan. Tetapi, keduanya harus dilakukan secara bersama dan seimbang.
Tak ada yang
khusus di semester ini. Dalam perjalanan waktuku di semester ini, tentunya
banyak hal-hal yang harus aku pikirkan. Ini merupakan semester penghujung di
perkuliahan. Sudah saatnya aku harus memikirkan tugas akhir. Prinsipku hanyalah
satu, segera mewujudkan cita-cita ayah untuk melihat anaknya di wisuda.
Kini
perasaanku mulai lega. Ayah sudah bisa dikatakan lebih baik sekarang.
Penyakitnya berangsur pulih. Hatiku pun berasa lega karena nantinya disaat hari
yang ayah cita-citakan, aku dapat mempersembahkan gelar ini untuk mereka. Sudah
terbayang sebuah keceriaan di hari bahagia itu. Kini untuk mewujudkannya, aku
semakin giat untuk mempersiapkan judul tugas akhir. Tentunya tak gampang untuk
memilih penelitian seperti apa yang ingin aku ambil.
Tak ada
masalah dan tak ada kendala yang cukup berarti. Rutinitas di kampus aku lalui
tanpa terasa. Kini di ujung perjalanan semester VI, aku harus mengubur
keinginanku untuk melaksanakan puasa pertama di rumah. Kini giliranku untuk
mengikuti Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) Universitas Padjadjaran.
Bersama 19
rekan lainnya, kami memulai kisah di desa kecil bernama Jayamukti, Tasikmalaya.
Mungkin nama desa ini tidak asing bagi sebagian orang, namun daerah ini sangat
asing bagiku. Tak ada yang salah dengan desa ini. Hari-hari selama satu bulan
penuh kami habiskan disini. Banyak cerita dan pengalaman yang kami dapat dari
desa ini. Masyarakat yang beradat, sopan santun dan anak-anak yang ramah menghiasi
rumah kecil tempat persinggahan kami.
Mereka
memanglah Cuma masyarakat desa. Tak kenal teknologi yang canggih, tak perlu
berjalan-jalan menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan elit ataupun hanya
sekedar duduk-duduk cantik di suatu tempat makan. Tetapi, banyak cerita yang
tersampaikan kepada kami. Desa ini begitu ramah. Anak-anaknya masih bisa
tersenyum walau hanya bermain dengan jenis permainan tradisional seperti
“lodong”. Permainan ini terbuat dari botol panjang yang menghasilkan bunyi
dentuman cukup kuat. Mereka dengan bangganya mengajariku bermain ini.
Hari-hari
kami lalui di desa ini. Tak mungkin kami harus bertahan lebih lama lagi disini.
Tentunya kami harus segera kembali ke Bandung. Aku juga tak sabar ingin kembali
ke kampung halaman di Riau. Wajah keluarga sudah semakin jelas terbayang
dibenakku.
Lebaran tahun
ini aku kembali tidak menaruh harapan banyak. Aku tidak terlalu berharap
lebaran ke kampung ayah atau ibu, atau hanya sekedar liburan ke kota-kota
ternama baik dalam maupun luar negeri. Cukup pulang ke rumah dan menjaga ayah saja
bagiku sudah cukup. Lega ketika berada di rumah dan berkumpul dengan sanak
keluarga. Mungkin ketika liburan usai, aku hanya bercerita kepada kawanku
jikalau aku hanya libur lebaran di rumah saja. Gak perlu merasa malu ataupun
gengsi. Yang terpenting bagiku bukan pujian orang lain terhadap perjalanan
liburanku, setidaknya di rumah aku akan mengisahkan kembali perjalananku di
semester VI ini khususnya kepada ayah.
Semester VII akhirnya tiba….
Kini
perjalananku sudah dipenghujung. Tak terasa sudah lebih dari tiga tahun aku
menghabiskan waktu di kota kembang. Banyak kisah dan kenangan yang telah aku
toreh. Dan tak mudah bagiku untuk mengakhiri kisah itu. Aku tahu, ini adalah
penghujung semester kami. Sudah tak seharusnya aku mengikuti sebuah kompetisi.
Sudah seharusnya aku fokus pada tugas akhir. Namun layaknya manusia seperti
biasa, tentunya tak ada kata tak puas. Bersama dua rekan lainnya kami pun
mencoba berkompetisi di kota hujan. Insititut Pertanian Bogor menjadi saksi dan
sekaligus akhir dari perjalanan kompetisiku.
Sekali lagi
ayah, kan ku buktikan padamu bahwa ini bentuk komitmenku. Piala juara 2 dalam
kompetisi ini sekali lagi aku persembahkan kepadamu. Janjiku adalah setibanya
kembali di Bandung, aku akan fokus untuk mengerjakan tugas akhir. Aku tak ingin
terlalu lama menghabiskan sisa waktuku untuk kuliah. Berat rasanya jika
terus-menerus menghabiskan uang ayah untuk pendidikanku.
Semester ini
menjadi puncak dalam menyelesaikan tugas akhir. Dari awal September hingga
akhir November, secara tekun dan sungguh-sungguh, aku mencoba membagi waktu
antara kuliah dan tugas akhir. Alhamdulillah, sebuah kebahagian yang kembali
ingin aku persembahkan kepada ayah. Tepat di tanggal 28 Oktober, untuk pertama
kalinnya aku melaksanakan sidang usulan penelitian. Semuanya berjalan lancer
tanpa adanya kendala yang berarti.
Pada tahap
selanjutnya, aku pun ingin mempunyai target cepat dalam menyelesaikan tugas
akhir dan segera menyandang gelar sarjana hukum. Namun tidak semudah yang aku
bayangkan. Kembali aku dihadapkan kepada sebuah kabar duka. Tepat di hari aku
memberikan revisi tugas akhir kepada dosen pembimbing, ibu meneleponku.
Dalam
pembicaraan kami, jelas bahwa ibu memintaku untuk segera kembali ke Riau.
Memang aneh dan tak tahu harus berbuat apa. Beban hidupku semakin berat.
Mungkin tak salah jika aku harus mengeluarkan air mata. Hatiku begitu tak
karuan. Sedih teramat sedih. Semua harapan terasa begitu buyar, seolah-olah
perjalananku sudah berakhir dan tak bisa dimulai kembali.
Kini ayah
kembali harus berjuang melawan mautnya. Tepat pukul 23.00 WIB, aku pun tiba di
Riau. Kali ini aku tidak pulang ke rumah. Melainkan aku harus tegar dan menuju
rumah sakit. Setibanya di depan ruang operasi, aku tak melihat ayah melainkan
ibu dan kerabatku yang tertunduk lesu menunggu hasil operasi ayah. Sedih,
begitu aku setibanya di rumah sakit, ternyata aku belum sempat memegang tangan
ayah dan memberikannya semangat. Anak mana yang hatinya tak akan sedih. Di tengah
penyakit stroke yang menyerang ayah, kini ayah harus dihadapkan dengan penyakit
lain. Lambungnya bocor dan memaksakan ayah untuk segera di operasi.
Dokter
berpesan kepada ibu untuk tidak terlalu berharap banyak akan hasil operasi.
Alhamdullillah aku tegar melihat ibu yang ikhlas dengan apapun yang terjadi.
Dalam benak, aku mempertanyakan apakah ayah nanti akan sembuh? Apakah ayah akan
menepati janjinya untuk hadir dalam prosesi wisudaku?. Biarlah aku simpan
pertanyaan itu di hati ini. Dan biarlah untuk beberapa saat aku menunda
mengerjakan tugas akhir ini.
Saat ini yang
terpenting adalah kesembuhan ayah. Jujur, aku belum siap untuk kehilangan ayah.
Dua jam lebih ayah di operasi dan akhirnya dinyatakan berhasil oleh dokter.
Kini, ayah tak sadarkan diri pasca operasi dan dipindahkan ke ruang ICU. Setidaknya
aku lega, karena ayah telah melewati satu tahap. Kurang lebih 8 hari ayah
berada di ruang ICU. Banyak hal yang telah aku lewati termasuk pelaksanaan UAS.
Niatku hanya satu, aku tulus hadir dan menjaga ayah dan aku yakin Allah akan
bantu aku untuk bisa mengikuti UAS susulan.
Selama berada
di ruang ICU, banyak pengalaman yang khususnya aku dan ibu lewati. Hati kami
selalu dirundungi rasa khawatir. Banyak pasien yang berada di ruang ICU harus
mengakhiri hidupnya. Tuhan, betapa aku dan ibu cemas jika kondisi itu terjadi
pada ayah. Dalam doa, kami berharap ayah segera di pindahkan keruangan
perawatan dan sembuh.
Mungkin ini
rencana Tuhan yang harus kami lewati bersama. Dalam keadaan ini, bathin kami
semakin diperkuat. Hubungan anak dan ibu terjalin begitu erat. Kami saling
menguatkan dan aku pun harus bersikap lebih dewasa. Sebagai anak laki-laki
satu-satunya, kini tanggung jawab besar berada di pundakku. Kami ikhlas dengan
semua hasilnya. Alhamdulillah doa kami didengar. Kini ayah di pindahkan
keruangan biasa. Sedikit lebih lega, aku meninggalkan ibu untuk kembali ke
Bandung. Kurang lebih seminggu lamanya aku berada di Bandung untuk mengurus
beberapa tugasku yang tertunda. Sekembalinya ke Riau, aku dan ibu kembali
membagi tugas secara bergantian untuk menjaga ayah. Aku ikhlas ayah untuk
mengangkat badan ayah hingga aya bisa duduk di kursi. Aku ikhlas keringatku
bercucuran untuk mengangkat ayah kembali tidur di Kasur. Ingatku, dulu sewaktu
kecil, ayah mengangkatku dengan kedua tangan ayah yang kokoh ketika aku tertidur
di depan TV menuju kamar dan sudah saatnya aku membalas bentuk perhatian itu
padamu ayah.
Tepat pada
tanggal 10 Januari 2015 aku harus kembali ke Bandung. Kini perjalanan kisahku
di kampus akan segera berakhir. Aku di undang untuk mengikut sidang akhir.
Tepat pada tanggal 28 Januari yang juga merupakan hari kelahiranku, aku
mengikut sidang akhir. Harapanku di hari bersejarah ini, di hari kelahiranku
ini, semoga aku dilancarkan hingga akhir dalam memperoleh gelar sarjana hukum.
Sekali lagi, aku persembahkan sarjanaku hanya untukmu ayah. Sejak semester III
hingga semester VII, ayah nyata berjuang untuk menepati janji hadir di hari
wisudaku. Kini, 3,5 tahun perjuang kita tercapai. Pintaku hanya satu saat itu,
beri ayah kesembuhan dan ayah hadir bersama ibu di hari wisudaku nanti.
Jujur,
awalnya aku tak punya harapan banyak. Aku tak terlalu mengambil pusing akan
wisuda. Targetkku adalah wisuda di bulan November. Tetapi demi ayah, semua aku
lakukan. Aku tak mau, ibu dan ayah terlalu pusing untuk membayar biaya
pendidikanku di semester 8 nanti. Sejak desember aku putuskan untuk tidak
memiliki kostan. Dengan harapan, biaya itu dapat dimaksimalkan demi kesembuhan
ayah. Tidak banyak yang ingin aku harapkan dari ayah. Hanya satu pintaku, di
hari prosesi wisuda nanti, aku dapat memberikan kalung sarjanaku kepada ayah.
05 Mei 2015…
Hari yang aku
tunggupun tiba. Ingin rasanya merangkul kedua sayapku dengan tangan lemahku
ini. Ingin rasanya memeluk mereka secara bergantian. Namun Tuhan punya rencana
lain. Aku dan ayah harus berada dalam tempat yang berbeda. Di hari wisuda, aku
ditemani ibu saja sementara ayah harus terbaring lemah di Kasur tempat aku dan
ibu merawatnya. Walau hanya seorang diri ibu hadir diwisudaku tapi aku tetap
bahagia. Sampai kapanpun aku akan menunggu kesembuhan ayah. Semoga aku lekas
memperoleh pekerjaan dan dengan penghasilanku sendiri, maka aku mampu
melanjutkan pendidikan ke jengjang yang lebih tinggi
Kembali
harapanku adalah di hari wisuda nanti saat aku memperoleh gelar master hukum
baik ayah maupun ibu dapat hadir di hari wisudaku. Terimakasih ayah udah
berjuang hingga hari ini. Semoga aku bisa mempersembahkan pengasilan pertama
untuk ayah. Makasih ibu sudah hadir di hari wisudaku walaupun di tengah
kesibukan ibu harus menjaga ayah. Terimakasih kepada kedua kakakku yang sudah
secara ikhlas membantu biaya pendidikanku dan menggantikan peran ibu selama ibu
menghadiri acara wisudaku di Bandung. Sampai detik ini aku selalu bersyukur
masih memiliki keluarga yang lengkap. Masih banyk di luar sana dari
teman-temanku yang tak seberuntung aku. Sekali lagi terimakasih untuk semua
yang sudah memberikan kisah dalam perjalananku dibangku perkuliahan ini. Sampai
kapanpun, kisah ini akau selalu tersimpan rapi dalam hati ini dan semoga dapat
aku ceritakan kembali di waktu yang berbeda buat keluarga besarku kelak.